Sejarah Demokrasi Terpimpin

Anams.id – Setelah melalui sejarah panjang penderitaan, pada tanggal 17 Agustus 1945, setelah kemerdekaan yang dijanjikan Jepang tidak terwujud, Indonesia akhirnya mencapai kemerdekaan atas keputusan rakyat Indonesia sendiri. Seiring berjalannya sejarah, tiga sistem politik yang berbeda, masing-masing dengan nama ‘demokrasi’, telah berusaha diterapkan selama sekitar setengah abad terakhir.

Pengertian Demokrasi Terpimpin

Demokrasi terinduksi adalah demokrasi yang pernah ada di Indonesia, dimana segala keputusan dan pemikiran hanya dipusatkan pada pemimpin. Dalam tulisan ini, saya akan membahas demokrasi yang diinduksi Indonesia, tetapi saya berharap tidak menyimpang dari konteks sejarah. Dan penulis mencoba bersikap netral dalam menulis makalah ini.

Latar belakang demokrasi terpimpin

Demokrasi terinduksi mulai berlaku di Indonesia antara tahun 1959 dan 1966, sejak dikeluarkannya dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959 sampai jatuhnya kekuasaan Sukarno. Latar Belakang Pengenalan Demokrasi Terinduksi Presiden Sukarno:

  • Dari perspektif keamanan: Banyaknya gerakan separatis di era demokrasi liberal telah menyebabkan destabilisasi sektor keamanan.
  • Dari sudut pandang ekonomi: Karena pergantian kabinet yang berulang selama era demokrasi liberal, program-program yang dirancang oleh kabinet tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pembangunan ekonomi mengalami stagnasi.
  • Dari perspektif politik: Majelis Konstituante gagal merancang konstitusi baru untuk menggantikan konstitusi 1950.

Era demokrasi terpimpin yang digagas oleh Presiden Soekarno diawali dengan usulannya bahwa hukum yang digunakan untuk menggantikan UUD 1950 adalah UUD 1945-nya. Namun, usulan itu menimbulkan kontroversi di kalangan anggota konstituen. Sebagai tindak lanjut dari usulannya, diadakan pemungutan suara yang dihadiri oleh seluruh anggota konstituen. Pemungutan suara dilakukan untuk mengatasi konflik yang muncul dari pro dan kontra usul Presiden Sukarno.

Hasil polling menunjukkan bahwa:

  • 269 ​​setuju untuk kembali ke UUD’45
  • 119 tidak setuju dengan kembali ke UUD 1945

Dilihat dari hasil pemungutan suara, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak terwujud. Hal ini disebabkan karena jumlah daerah pemilihan yang menyetujui usul tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 137 UUD 1950, tidak mencapai dua pertiga dari jumlah itu, dan mulai dari itu, Presiden Sukarno Pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan keputusan presiden. Perintah Eksekutif 5 Juli 1959:

  • Konstitusi 1950 tidak akan berlaku lagi
  • Pemberlakuan kembali UUD 1945
  • Pembubaran Majelis Konstituante
  • Pembentukan MPRS dan DPA
Baca Juga :   Dampak korupsi

Dengan mengeluarkan dekrit presiden, kabinet Juanda dibubarkan dan diganti dengan kabinet kerja pada 9 Juli 1959. Program kabinet meliputi keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Jaya, pangan, sandang dan papan. Ketetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 membentuk Majelis Rakyat Sementara (MPRS), yang anggotanya diangkat dan diangkat oleh Presiden dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • Menyetujui UUD 1945
  • Ikrar setia pada perjuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
  • Saya setuju dengan deklarasi politik.

Anggota MPRS terdiri dari anggota DPR, serta perwakilan daerah dan perwakilan kelompok. Amanat MPRS adalah untuk menetapkan kebijakan negara sesuai dengan Pasal 2 UUD 1945.

Presiden juga membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketuai oleh Presiden sendiri, yang bertugas menjawab pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah (Pasal 16 UUD 1945). Seksi 2). DPA diluncurkan pada tanggal 15 Agustus 1959. Sebagai hasil dari pemilihan umum 1955, DPR tetap menjalankan tugasnya berdasarkan UUD 1945-nya dan mendukung semua reformasi yang dilaksanakan oleh pemerintah sampai DPR-nya yang baru terbentuk. Awalnya, anggota DPR lamanya tampak mengikuti langkah Presiden Sukarno, tetapi kenyataannya menolak APBN 1960-nya seperti yang diusulkan pemerintah.

Penolakan APBN menyebabkan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1960, yang menyatakan pembubaran DPR sebagai akibat dari pemilihan umum 1955, setelah itu dilakukan upaya untuk membentuk DPR baru. Demikian pula pada tanggal 24 Juni 1960, Presiden Sukarno menyelesaikan penyusunan susunan DPR-nya yang baru, yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Loyong-nya (DPR-GR) Gotong. Anggota DPR-GR yang baru dilantik pada 25 Juni 1960. Komposisi DPR-GR terdiri dari anggota kelompok nasionalis, Islam, dan komunis dengan perbandingan 44:43:30. Aturan dan peraturan juga ditetapkan oleh presiden.

Baca Juga :   10 Jenis Diskusi dan Contohnya

Amanat DPR-GR adalah menjalankan manipol, memenuhi misi penderitaan rakyat, dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Pada tanggal 5 Januari 1961, Presiden Soekarno kembali menjelaskan posisi DPR-GR. Dengan kata lain, DPR-GR adalah Pembantu Presiden MPRS-nya, yang memberikan energi kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang diputuskan oleh MPRS.

Pada tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Sukarno menyampaikan pidato berjudul “Penemuan Kembali Revolusi” pada Upacara Bendera Nasional Hari Proklamasi. Pada sidangnya bulan September 1959, DPA dengan suara bulat mengusulkan kepada pemerintah untuk menggunakan pidato kepresidenannya tanggal 17 Agustus sebagai garis besar kebijakan negara, yang disebut Deklarasi Politik Republik Indonesia (Manipol). bernama. Usulan DPA ini disambut baik oleh Presiden Sukarno. Dan pada sidangnya tahun 1960, MPRS memutuskan bahwa manifesto politik adalah Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Dalam dekrit itu, pidato presiden “Jalan Revolusi Kita” tanggal 17 Agustus 1960 dan pidato presiden di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 30 September menjadi pedoman pelaksanaan Manifesto Dunia Baru. . Ada reaksi terhadap perkembangan politik ini di antara partai-partai politik, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa pemimpin PNI.

Tanggapan juga datang dari Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) dan Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia. Sutmo mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung dalam suratnya tertanggal 22 Juni 1960. Sutomo mengecam tindakan sewenang-wenang Kabinet dan menyatakan fakta-fakta sebagai berikut:

Ia terpaksa menerima Manipor dan Usdek tanpa diberi waktu untuk belajar terlebih dahulu.
Kekuatan untuk menjalin kerjasama antara nasionalis, agama dan komunis.
Pembongkaran paksa Gedung Deklarasi Pegansan Timur ke-56 di Jakarta.

Bahkan, ada perbedaan sikap dan pendapat di antara para pihak. Berbagai parpol bergabung dengan Aliansi Demokratik untuk menentang pembentukan DPR-GR. Liga Demokrasi diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU dan mengikutsertakan beberapa tokoh dari NU, Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslim, PSII, IPKI, dan Masyumi. Pada akhir Maret 1960, Liga Bangsa-Bangsa mengeluarkan pernyataan. Pernyataan itu termasuk pembentukan DPR-nya yang demokratis dan konstitusional. Oleh karena itu, rencana pemerintah untuk membentuk DPR-GR-nya harus ditunda. Alasan yang dikemukakan adalah:

Baca Juga :   Contoh Adat Istiadat

Perubahan perimbangan perwakilan kelompok di DPR-GR memperkuat pengaruh dan status kelompok tertentu.
Dia tidak bisa menjadi pilar negara hukum dan demokrasi yang sehat, karena DPR pada dasarnya adalah DPR-nya yang mengabaikannya begitu saja.
Pembaharuan dengan pengangkatan yang dipersiapkan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dijamin undang-undang.

Kegiatan Liga Demokrasi baru muncul ketika Presiden Sukarno berada di luar negeri. Ketika presiden tiba di tanah airnya, dia langsung melarang Liga Demokrasi. Langkah Presiden Sukarno selanjutnya adalah mendirikan Front Nasional, sebuah organisasi massa untuk memperjuangkan cita-cita Deklarasi dan yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional diketuai oleh Presiden Sukarno sendiri. juga membentuk Dewan Bantuan Pemimpin Revolusi (MPPR).

MPPR dan jajarannya adalah badan-badan cabang dari Pemimpin Besar Revolusi (PBR), mengambil kebijakan khusus dan mendesak untuk menyelesaikan revolusi. Anggota MPPR terdiri dari beberapa menteri, departemen, unit, dan perwakilan organisasi Nasakom yang mewakili MPRS dan DPR-GR. Badan ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Di era demokrasi liberal dan terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha memantapkan dirinya sebagai kelompok yang mau menerima Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Kekuasaan politik pada saat itu terkonsentrasi di tangan Presiden Sukarno bersama TNI-AD dan PKI-nya. Dengan strategi “berpegang teguh” pada Presiden Sukarno, PKI secara sistematis berupaya memperoleh citra sebagai seorang Pancasilais dan mendukung ajaran Presiden Sukarno.

Tentara Indonesia (TNI-AD) mensinyalir bahwa di Jawa Tengah (PKI pada malam hari) dia melakukan tindakan pengganggu yang dilakukan oleh PKI. TNI juga mengawasi PKI-nya, tetapi Presiden Sukarno malah memerintahkan agar semua keputusan itu dibatalkan. Pidato Presiden Sukarno yang berjudul Resopim, Takem, Gesuri, Tavip, dan Takari, jelas menunjukkan sikap politik Presiden Sukarno terhadap TKI, dengan PKI memojokkan TNI-AD sebagai pihak yang sumbang. . Puncak kegiatan PKI adalah meletusnya pemberontakan G 30 S/PKI.

Itulah Pembahasan Mengenai “Sejarah Demokrasi Terpimpin” Semoga Bermanfaat***

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *