Berikut Hasil Sidang BPUPKI, Serta Pelopor Panitia Sembilan Lengkap Dengan Nilai Sila Pertama Pancasila
Berikut Hasil Sidang BPUPKI, Serta Pelopor Panitia Sembilan Lengkap Dengan Nilai Sila Pertama Pancasila

Berikut Hasil Sidang BPUPKI, Serta Pelopor Panitia Sembilan Lengkap Dengan Nilai Sila Pertama Pancasila

Hasil Sidang BPUPKI

Hasil Sidang Pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945

Muh.Yamin (29 Mei 1945)

Peri kebangsaan

Peri kemanusiaan

Peri ketuhanan

Peri kerakyatan

Kesejahteraan rakyat

Prof.Dr.Supomo (31 Mei 1945)

Persatuan

Kekeluargaan

Keseimbangan lahir batin

Musyawarah

Keadilan rakyat

Ir.Soekarno (1 Juni 1945)

Kebangsaan Indonesia

Internasionalisme dan kemanusiaan

Mufakat dan demokrasi

Kesejahteraan soisal

Ketuhanan yang Maha Esa

Anggota Panitia Sembilan

Ir. Soekarno (ketua)

Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)

Mr. Achmad Soebardjo (anggota)

Mr. Mohammad Yamin (anggota)

Wahid Hasjim (anggota)

Abdoel Kahar Moezakir (anggota)

Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)

Agus Salim (anggota)

Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)

Hasil rundingan yang dilakukan oleh 4 orang dari kaum kebangsaan (nasionalis) dan 4 orang dari pihak Islam, tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan membuahkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Piagam Jakarta inilah yang menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan pada sila pertama yang berdasarkan pada berbagai pertimbangan mengenai sebuah negara kesatuan.

Nilai Sila Pertama Pancasila

Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa berarti persepsi dan keyakinan negara terhadap keberadaan Tuhan sebagai Pencipta alam semesta. Dari pengertian nilai tersebut, negara Indonesia dikatakan sebagai negara agama daripada negara ateis. Nilai-nilai ketuhanan juga berarti persepsi kebebasan memeluk agama, penghormatan terhadap kebebasan beragama, tidak ada paksaan, dan tidak ada diskriminasi antar umat beragama.

Secara umum dapat dilihat pada uraian berikut ini:

Merupakan bentuk kepercayaan yang bersumber dari kesadaran manusia sebagai makhluk Tuhan.

Negara menjamin peribadatan setiap penduduk menurut agama dan kepercayaannya.

Tindakan anti-teistik dan anti-agama tidak diizinkan.

Menjalani kehidupan yang toleran baik secara internal maupun antar umat beragama.

Baca Juga :   Hukum Waris Adat dan Pembagiannya

Ia mengatur hubungan antara bangsa dan agama, hubungan antara manusia dan Sang Pencipta, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hak asasi manusia yang paling mendasar.

Sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, pelajaran pertama meliputi:

Percaya dan takut kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Menghormati dan bekerja sama dengan pemeluk agama lain.

Kami saling menghormati kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

Jangan memaksakan agama pada orang lain.

Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa berarti persepsi dan keyakinan negara terhadap keberadaan Tuhan sebagai Pencipta alam semesta. Dari pengertian nilai tersebut, negara Indonesia dikatakan sebagai negara agama daripada negara ateis. Nilai ketuhanan juga berarti pengakuan kebebasan beragama, kebebasan menghormati kebebasan beragama, tidak ada paksaan, dan tidak ada diskriminasi antar umat beragama.

Peran dan Pelopor Anggota Panitia Sembilan

Hasyim Abdul Wahid Hasyim (1914-1953)

Ia memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam sejarah Islam Indonesia. Beliau adalah pendiri Partai Nafdatul ulama (NU), Menteri Agama, anggota BPUPKI, dan penandatangan Piagam Jakarta, Pembukaan UUD Indonesia yang ditandatangani pada 22 Juni 1945 di Jakarta.

Wahid Hasyim lahir pada 1 Juni 1914. Ayahnya KH. Hasyim Asyari adalah ulama besar dan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Ia belajar di Pesantren di Tebu ireng dan berbagai Pesantren lainnya sejak ia masih kecil dan tiba di Mekah pada usia 18 tahun. Ia sangat aktif dalam belajar dan memiliki hasrat yang kuat untuk membaca. Ia memperdalam ilmunya dengan berlangganan koran dan majalah berbahasa Indonesia dan asing. Dia adalah orang yang sangat cerdas, otodidak dan luar biasa.

Dia aktif berpartisipasi dalam organisasi PBB pada usia 24 dan diangkat ke Dewan PBB pada tahun berikutnya. Pada tahun yang sama, ia terpilih sebagai Presiden MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), koalisi beberapa organisasi sosial politik Islam, dan forum persatuan umat Islam. Ia terpilih kembali sebagai ketua majelis Majelis Muslim Indonesia, lanjutan dari MIAI. Namun, organisasi itu dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1943, dan sebuah organisasi baru, Majelis Sawit Muslim Indonesia (Masyumi), segera didirikan.

Baca Juga :   Kebijakan Politik Etis Serta Tokoh-Tokoh Dibelakangnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *